search
light_mode dark_mode
Memahami Dampak Kesehatan Mental Pascabencana Banjir Bali

Minggu, 14 September 2025, 15:36 WITA Follow
image

bbn/dok beritabali/Memahami Dampak Kesehatan Mental Pascabencana Banjir Bali.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Bali pada Rabu (10/9) meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat. Hujan deras yang mengguyur secara intens telah menyebabkan aliran sungai meluap dan menggenangi pemukiman warga di berbagai titik. 

Sejak Kamis (11/9), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama aparat setempat, relawan, serta masyarakat terus melakukan proses evakuasi dan penanganan darurat di lokasi terdampak.

Hingga Jumat (12/9), jumlah korban jiwa terus bertambah. BPBD mencatat sebanyak 18 orang meninggal dunia, dengan sebaran 12 orang di Kota Denpasar, 3 orang di Kabupaten Gianyar, 2 orang di Kabupaten Jembrana, serta 1 orang di Kabupaten Badung. 

Selain itu, 5 orang masih dilaporkan hilang dan dalam proses pencarian. Banjir ini juga memaksa ratusan warga harus meninggalkan rumah mereka. Tercatat ada 562 jiwa yang kini mengungsi, terdiri dari 327 warga Jembrana dan 235 warga Denpasar. 

Berbagai fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, dan banjar sementara dialihfungsikan menjadi posko pengungsian untuk menampung para korban. Pemerintah Provinsi Bali menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama satu pekan. Kebijakan ini bertujuan mempercepat langkah penanganan mulai dari evakuasi korban, distribusi bantuan logistik, hingga pemulihan kebutuhan dasar warga terdampak. 

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bencana besar juga meninggalkan dampak psikologis yang mendalam. Trauma, kecemasan, dan rasa kehilangan berpotensi menghantui para penyintas, terutama anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu, pertanyaan penting patut diajukan, di tengah segala upaya fisik dan logistik, apakah aspek kesehatan mental korban dan penyintas bencana sudah benar-benar menjadi perhatian yang serius?

Mengapa bencana alam berdampak pada kesehatan mental? 

Bencana alam tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik dan kehilangan materi, tetapi juga mengguncang rasa aman, keterhubungan sosial, dan identitas diri manusia. Ketika seseorang terpapar langsung pada ancaman jiwa, misalnya terjebak banjir, terbangun dengan kondisi rumah telah dipenuhi air, menyaksikan rumah runtuh, atau kehilangan orang terdekat, maka reaksi trauma sangat mungkin muncul dan berkembang menjadi gejala gangguan stres pascatrauma bila tidak tertangani. 

Selain itu, bencana selalu membawa kehilangan signifikan berupa nyawa, tempat tinggal, pekerjaan, hingga asset yang dapat memicu duka mendalam, depresi dan kecemasan. Kehidupan sehari-hari yang terganggu akibat pengungsian, putus sekolah, serta hilangnya mata pencaharian menimbulkan stres kronis yang melemahkan daya tahan psikologis. 

Dampak tersebut semakin berat bila masyarakat menghadapi paparan bencana berulang, seperti banjir tahunan akibat perubahan iklim, karena akumulasi pengalaman traumatis cenderung meninggalkan beban psikologis jangka panjang. Situasi ini diperparah oleh keterbatasan dukungan sosial dan layanan kesehatan yang sering kali terganggu setelah bencana, padahal dukungan sosial terbukti menjadi faktor protektif utama. 

Anak-anak, remaja, lansia, perempuan, dan penyandang disabilitas termasuk kelompok paling rentan karena keterbatasan sumber daya dalam melakukan koping maupun ketergantungan pada orang lain. Penelitian lima tahun terakhir menunjukkan bahwa anak dan remaja yang terdampak bencana memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan masalah perilaku bila tidak mendapat penanganan psikososial yang memadai. 

Dalam konteks bencana, fokus utama bukanlah mencari siapa yang salah, melainkan bagaimana memulihkan kondisi dan mencegah dampak serupa terulang. Mencari penyebab tentu penting, terutama untuk kajian ilmiah, perencanaan mitigasi, serta perbaikan sistem agar kesiapsiagaan lebih baik ke depannya. 

Misalnya, banjir bisa disebabkan oleh kombinasi faktor curah hujan ekstrem, tata ruang yang kurang baik, atau kerusakan lingkungan. Analisis penyebab ini membantu pemerintah dan masyarakat menyusun kebijakan jangka panjang  seperti perbaikan drainase, pengendalian alih fungsi lahan, serta peningkatan sistem peringatan dini.

Namun, yang perlu dihindari adalah budaya saling menyalahkan. Saat energi masyarakat dan pemangku kebijakan habis untuk menuding, proses pemulihan justru terhambat, solidaritas melemah, dan korban bisa merasa diabaikan. Alih-alih menyalahkan, yang lebih konstruktif adalah membangun kolaborasi dimana pemerintah memperbaiki kebijakan, akademisi menyumbang riset, masyarakat menjaga lingkungan, dan lembaga sosial memberi dukungan psikososial.

Dari sisi kesehatan mental, atmosfer saling menyalahkan justru bisa menambah beban psikologis bagi penyintas, karena menimbulkan rasa marah, tidak berdaya, atau bahkan rasa bersalah yang tidak semestinya. Yang dibutuhkan para korban adalah rasa aman, dukungan, dan memastikan aspek kesehatan mental masyarakat tidak terabaikan, bukan pertengkaran atau retorika. 

Bagaimana dampak pasca bencana?

Setelah bencana, dampak kesehatan mental yang muncul sangat beragam. Sebagian penyintas dapat pulih dengan cepat, sebagian lain mengalami gejala yang berfluktuasi, dan sebagian masuk dalam trajektori kronis berupa gejala stres pasca trauma, depresi, serta kecemasan. 

Faktor risiko yang memperbesar kemungkinan munculnya gangguan ini antara lain tingkat paparan langsung seperti mengalami langsung bencana tersebut, kehilangan orang terdekat atau rumah, hilangnya pendapatan, minimnya dukungan sosial, paparan bencana berulang, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan. 

Secara khusus pada bencana banjir, terdapat hubungan yang signifikan antara paparan banjir dengan gejala trauma (effect size sedang) dan depresi (effect size kecil hingga sedang), sementara bukti untuk kecemasan lebih bervariasi. Temuan lain memperkirakan prevalensi gejala pasca trauma yang cukup tinggi pada penyintas banjir, menandai perlunya skrining aktif di layanan primer maupun komunitas. 

Anak dan remaja menjadi kelompok yang perlu perhatian lebih karena mereka tidak hanya menghadapi trauma langsung, tetapi juga gangguan sekolah, relokasi, dan tekanan keluarga. 

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap bencana iklim dapat menimbulkan akumulasi dampak psikologis, sehingga meskipun pemulihan fisik berlangsung, anak sering kali membutuhkan dukungan psikososial jangka panjang untuk mencegah gangguan internalisasi yang menetap. 

Dampak kesehatan mental ini juga tidak berdiri sendiri, terjadi peningkatan kondisi medis seperti kardiovaskular, pernapasan, metabolik, termasuk gangguan mental sebagai akibat stres kronis, disrupsi pengobatan, serta lingkungan pascabencana yang padat dan tidak sehat.

Baca juga:
Menteri LH Ungkap Penyebab Banjir Bali, Moratorium Pembangunan Jadi Opsi Serius
 

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bukti terkini menegaskan bahwa kejadian cuaca ekstrem sangat memengaruhi psikososial masyarakat dan meningkatkan prevalensi gangguan jiwa, meski representasi data regional masih terbatas. Studi komunitas di Indonesia menunjukkan peningkatan gejala depresi dan masalah kesehatan lainnya pascabanjir, dengan dampak lebih lama pada kelompok miskin dibandingkan masyarakat mampu. 

Fakta ini menandakan perlunya intervensi yang lebih peka pada dimensi kemiskinan sekaligus berbasis komunitas agar pemulihan kesehatan mental dapat lebih adil dan berkelanjutan.

Sementara itu pengaruh media sosial dalam konteks bencana sangat kompleks, dimana bisa menjadi sumber daya sekaligus sumber risiko bagi kesehatan mental masyarakat.

Di satu sisi, media sosial berfungsi sebagai jalur komunikasi cepat untuk memperbarui informasi situasi, menyebarkan peringatan dini, dan mengoordinasikan bantuan. Banyak penyintas merasa lebih terhubung karena dapat membagikan pengalaman, menerima dukungan emosional dari keluarga maupun publik, serta menemukan solidaritas dalam komunitas daring. 

Dari studi ilmiah dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa keterhubungan ini dapat menurunkan rasa isolasi dan meningkatkan resiliensi psikologis.

Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat memperburuk kondisi psikologis. Paparan berlebihan terhadap gambar atau video bencana dapat menimbulkan secondary trauma pada penyintas maupun masyarakat luas. Informasi bohong (hoaks) atau informasi yang simpang siur sering beredar dengan cepat, memicu kepanikan, meningkatkan kecemasan, bahkan memperuncing konflik sosial melalui saling menyalahkan. Selain itu, komparasi sosial misalnya melihat orang lain lebih cepat mendapat bantuan dapat memunculkan rasa iri, ketidakadilan, atau putus asa.

Bagi remaja dan kelompok rentan, penggunaan media sosial tanpa pengelolaan bisa berdampak signifikan seperti memperpanjang paparan trauma, memicu insomnia akibat doomscrolling, atau menimbulkan distres akibat komentar negatif. Karena itu, banyak ahli merekomendasikan pendekatan digital hygiene pascabencana, yaitu membatasi paparan konten traumatis, mengutamakan kanal resmi untuk informasi, serta mengedukasi masyarakat agar menggunakan media sosial sebagai alat pemulihan kolektif, bukan sumber stres tambahan. Dengan demikian, pengaruh media sosial pascabencana diharapkan dapat  dimanfaatkan untuk memperkuat solidaritas, akses informasi dan memperberat beban psikologis penyintas.

Apa yang perlu dilakukan pasca bencana?

Strategi pemulihan kesehatan mental pascabencana memerlukan pendekatan berlapis, mulai dari promosi kesehatan hingga intervensi klinis terstruktur, dengan integrasi ke dalam sistem layanan kesehatan dan perlindungan sosial. Perlu penekanan penguatan dukungan keluarga dan komunitas, penyediaan layanan aman dan inklusif lintas sektor, penghubungan dukungan psikososial dengan layanan kesehatan jiwa, pemberian intervensi psikologis bagi distress berkepanjangan, serta koordinasi multisektor yang jelas. 

Dibutuhkan upaya untuk mendorong agar momentum pascabencana digunakan mereformasi sistem, memperkuat jejaring rujukan, melatih tenaga nonspesialis, dan menyiapkan mekanisme pembiayaan yang berkelanjutan.  Upaya membangun ketahanan komunitas juga penting, melalui kelompok dukungan sebaya, literasi kesehatan mental, pelibatan tokoh adat maupun agama, serta kesiapsiagaan psikologis menghadapi paparan bencana berulang.

Kampanye literasi publik pulih bersama perlu dilakukan untuk menormalisasi pencarian bantuan. Tidak kalah penting, data dan evaluasi harus dikumpulkan secara berkala untuk memperbaiki program, dan prinsip keadilan kesehatan perlu ditegakkan dengan memprioritaskan dukungan bagi kelompok miskin serta pekerja informal yang terdampak paling lama. Dengan demikian, pemulihan kesehatan mental pascabencana tidak hanya berfokus pada penyembuhan individu, tetapi juga membangun ketahanan sosial dan sistem kesehatan masyarakat secara berkelanjutan. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami